Biografi Bung Hatta
Biografi DR. (HC) Drs. Mohammad Hatta | Sering juga disebut Drs. Mohammad Hatta atau lebih populer dengan nama Bung Hatta adalah wakil
presiden pertama Indonesia yang dikemudian hari menjabat sebgai Pernda
Mentri ke 3 Republik Indonesia Serikat. Mohammada Hatta terlahir dengan
nama Mohammad Athar di Fort de Kock (masuk dalam wilayah Bukit sekarang), Hindia Belanda pada tangal 12 Agustus 1902. Mohammad
Hatta juga merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang sama-sama
berjuang dengan sejumlah pejuang Indonesia, termasuk Soekarno, Untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda. Mohammad
Hatta juga merupakan seorang ekonom dan negarawan. Meskipun melakukan
perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dari jajahan Belanda, Hatta
tercatat pernah bersekolah di Belanda. Di Belnda, Hatta bersekolah dari
tahun 1921 - 1932. Sekembalinya dari Belanda, Hatta melanjutkan
pendidikannya di sekolah sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda
di Hindia Belanda.
Mohammad Hatta paling sering diingat dengan nama Bung Hatta. Panggilan "bung", menurut sang maestro penulis Pramoedya Ananta Toer, adalah sapaan akrab yang berarti "kawan" sebgai
alternatif dalam memanggil kerabat yang menunjukkan mereka berada pada
kasta yang sama, sebagai bentuk perlawanan atas panggilan yang selama
ini pada masyarakat. Masyarakat saat itu kerap menggunakan istilah "tuan", "mas", atau "bang".
Untuk mengenang jasa Mohammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, nama belia diabadikan menjadi nama salah satu bandar udara internasional di Jakarta, yakni Bandar Udara Soekarno-Hatta. Nama Hatta juga diabdikan menjadi nama jalan di negara Belanda yakni Mohammad Hatta Straat yang berada di wiliyah perumahan Zuiderpolder, wilayah bagian Haarlem.
Bung Hatta menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo tepat pada pukul 18.56. Bung Hatta, pada Tahun 1986 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Kehidupan Awal Bung Hatta
Latar Belakang Keluarga Bung Hatta
Hatta lahir di Fort de Kock (bukittinggi) Hindia Belanda pada tanggal 12
Agustus 1902. Mohammad Hatta terlahir dengan nama Muhammad Athar. Nama
Ahtar berasal dari dari bahasa Arab yang memiliki arti "harum". Hatta
merupakan anak kedua yang berbeda selisih umur dua tahun dengan kakaknya
Rafiah yang lahir tahun 1900. Mohammad Hatta Terlahir dari keluarga
pasangan Siti Saleha dan Muhammad Djamil yang berasal dari Minangkabau.
Hatta dibesarkan dalam keluarga yang taat dalam Islam. Kakek Mohammad
Hatta dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar adalah seorang ulama yang
sangat dihormati di wilayah Batuhampar. Abdurahman Batuhampar adalah
pendiri surau Batuhampar, satu dari sedikit surau yang tidak hancur
setelah meletusnya perang Padri. Ayah Hatta, Haji Mohammad Djamil
meninggal ketika Hatta baru berusia delapan bulan, Hatta ditinggal
ayahnya bersama dengan saudarinya serta ibunya.
Berdasarkan pada tradisi Minangkabau, Hatta kemudian dibesarkan dalam
lingkungan keluarga ibunya. Ibu Mohamad Hatta, Siti Saleha adalah
keturunan pedagang di Bukittinggi. Setelah Haji Muhammad Djamil
meninggal, Siti saleha memutuskan untuk menikah lagi dengan Agus Haji
Ning yang merupakan pedagang dari Palembang. Pernikahan Agus Haji Ning
dengan Siti Saleha dikarunia empat orang Putri. Haji Ning sering
berkorespondensi dengan kakek Hatta dari pihak Ibunya yakni Ilyas
Bagindo Marah.
Pendidikan Formal Bung Hatta
Latar Belakang keluarga ibunda Hatta, Siti Saleha, yang merupakan
keluarga cukup bearada dari segi harta, memungkinkan Hatta untuk
bersekolah di Belanda. Hatta memulai pendidikannya di sekolah swasta.
Namun setelah enam bulan, Hatta memutuskan pindah ke sekolah rakyat. Di
sekolah rakyat yakni Sekolah Melayu Hatta sekelas dengan Rafiah sang
kakak. Lagi-lagi sekolah Hatta di sekolah rakyat terhenti di tengah
semester ketika Hatta menginjak kelas tiga. Hatta lalu meneruskan
sekolahnya ke sekolah dengan bahasa dasar Belanda di Europeesche Lagere
School atau ELS di Bukittinggi, Padang. ELS sendiri sekarang telah
Menjadi SMA Negeri 1 Padang. Hatta bersekolah di ELS dari tahun 1913
hingga tahun 1916.
Saat berusia 13 Tahun, Hatta lulus ujian dan berhak melanjutkan
pendidikannya ke sekolah menengah Belanda yakni Di Hogere Burgerschool
atau HBS di Batavia (Jakarta sekarang). Melihat usia Hatta yang masih
belia, Ibunya melarangnya untuk pergi merantau ke Batavia dan meminta
Hatta untuk tetap tinggal di Padang. Hatta lalu melanjutkan jenjang
pendidikan sekolah menengah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau
biasa disingkat MULO.
Selama bersekolah di MULO, Hatta mengisi waktu luangnya dengan bekerja
di sebuah kantor Pos. Murid lain tak boleh melakukan kerja selama
bersekolah di MULO. Hatta mendapat perlakuan khusus karena Ia memiliki
kualifikasi ujian HBS. Selama bersekolah Di MULO, Hatta memiliki
ketertarikan terhadap olahraga sepak bola.Hatta tergabung dalam tim
sepak sekolah dan Ia ditunjuk sebagai Kapten Tim. Dengan posisinya
sebagai kapten tim, Hatta memperluas korelasi dengan berbagai orang dan
kalangan.
Selama bersekolah di MULO, Hatta biasa berkunjung ke kantor United
Endeavor (Sarikat Usaha) yang dipimpin oleh Taher Marah Soetan. Selama
berada di kantor Sarikat, Hatta mengisi waktu dengan membaca koran
Belanda. Berita koran yang menarik perhatian Hatta adalah debat politik
di Volksraad atau parlemen Hindia Belanda. Saat itu Hatta baru berusia
enam belas dan mulai tertarik terhadap perpolitikan dan pergerakan
nasional.
Pendidikan Non-formal Bung Hatta
Sebelum memulai pendidikan formal, Hatta sudah dibekali pengetahuan
agama yang cukup memadai. Melihat latar belakang keluarga Hatta dari
garis ayahnya yang merupakan Ulama yang cukup dihormati di Batuhampar,
Hatta memiliki kemudahan dalam berguru kepada beberapa ulama di
antaranya Abdullah Ahmad, Muhammad Jamil Jambek, serta beberapa ulama
lainnya.
Selain pendidikan formal terkait agama, Hatta juga mendapat banyak
pelajaran terkait perekonomian. Keluarga Hatta dari garis ibu yang
merupakan pedagang cukup banyak memberi pengaruh pada minat Hatta
terhadap perdagangan. Di Padang Hatta ikut aktif dalam Jong Sumatera
Bond (Asosiasi Pemuda Sumatera) yang didirikan pada tahun 1918, Hatta
memangku jabatan sebagai bendahara. Keaktifan Hata dalam Jong Sumatera
Bond membuatnya banyak mengenal pedagang-pedagang yang tergabung sebagai
anggota. Minat Hatta dalam perekonomian sangat tinggi, terbukti ketika
Hatta pindah ke Jakarta, Ia menjadi bendahara saat bersekolah di Prins
Hendrik School.
Ketika Ilyas Bagindo Marah kakeknya dari garis ibu, hendak ke Mekkah, Ia
berencana membawa serta Hatta untuk mendapatkan pendidikan tentang
agama di Al-Azhar, Mesir. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas kader di Surau Batuhampar. Sebab semenjak ditinggal oleh Syaikh
Abdurahman, Surau Batuhampar terus mengami kemunduran. Namun Hatta
menolak tawaran tersebut dan mengusulkan untuk membwa Idris, pamannya,
untuk menggantikannya.
Bung Hatta Sewaktu di Belanda
Tahun 1919, Hatta akhirnya diperolehkan oleh orang tuanya untuk
melanjutkan pendidikannya di HBS Batavia. Hatta menyelesaikan sekolahnya
di HBS pada tahun 1921 dan dibolehkan untuk melanjutkan pendidikannya
ke RotterdamSchool of Commerce (sekarang bernama Erasmus University
Rotterdam) yang berlokasi di Rotterdam sesuai dengan namanya, Belanda.
Hatta mengambil Jurusan Ekonomi dan menyelesaikan kuliahnya pada tahun
1932 dan berhak menyandang gelar Doktorandus. Dengan gelar Doktorandus
yang disandang, Mohammad Hatta berhak untuk melanjutkan pendidikannya ke
tingkat Doktoral. Hatta kemudian melanjutkan pendidikannya untuk
memperoleh gelar Doktornya dan berusaha untuk menyelesaikan segala
persyaratan untuk mempermudah dalam menyelesaikan pendidikan Doktornya.
Namun pada akhirnya Hatta tak dapat menyelesaikan pendidikan Doktornya.
Kesibukkan Hatta dalam berpolitik menjadi penyebab utam terhambatnya
pendidikan Doktoralnya.
Selama di Belanda, Hatta bergabung dengan Indische Vereeniging (Asosiasi
Pelajar Hindia Belanda). Tahun 1922, Indische Vereeniging merubah nama
menjadi Indonesia Vereeniging yang jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia Menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hatta menjadi bendahara dari
organisasi Perhimpoenan Indonesia sejak tahun 1922-1925. Hatta lalu
diangkat menjabat sebagai ketua sejak tahun 1926-1930. Pada saat
didaulat sebagai Ketua, Hatta membacakan pidatonya yang berjudul
Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan (The Economic World
Structure and the Conflict of Power) yang mana inti gagasan dari pidato
tersebut adalah menentang gagasan kerjasama Indonesia dan Pemerintah
Kolonial Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Perhimpoenan Indonesia kemudian berubah, yang dulunya hanya melingkup
pergerakan di kalangan Mahasiswa berubah menjadi organisasi politik dan
berfokus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini kut
disuarakan melalui Majalah yang bernama Indonesia Merdeka, di mana Hatta
berperan sebagai Editor.
Untuk menggalang suara dari berbagai negara, Hatta selaku ketua dari Perhimpoenan Indonesia berusaha untuk selalu menghadiri kongres di seluruh Eropa. Tahun 1926, Hatta bersama Perhimpoenan Indonesia bergabung dalam salah satu kongres internasional yakni International Democratic Congress for Peace yang ke enam. Kongres ini berlangsung di Marc Sangnier's domaine de Bierville (Boissy-la-Rivière) Prancis. Pada Februari 1927, Hatta berkunjung ke Brussels dalam rangka menghadiri kongres yang diadakan oleh League Against Imperialism and Colonial Oppression. Dalam kongres tersebut Hatta banyak bertemu dengan para pejuang nasionalis dari berbagai negara, di antaranya ada Jawaharlal Nehru dari India, Mohammad Hafiz Ramadha Bey yang berasal dari Mesir, dan Lamine yang berasal dari Senegal. Di tahun yang sama, Hatta menghadiri Liga Wanita Internasinal untuk Perdamaian dan Kebebasan yang diselenggarakan di Swis. Pada kongres tersebut Hatta membawakan Pidato yang berjudul "Indonesia dan Problematika Kemerdekaannya".
Pada pertengahan Tahun 1927, aktivitas Perhimpoenan Indonesia mulai membuat pemerintah Hindia Belanda Khawatir. Pada Juni 1927, pemerintah Belanda melakukan penggerebekan ke kediaman pemimpin Perhimpoenan Indonesia. Pemerintah melakukan penggeldehan di kamar-kamar para aktivis Perhimpunan Indonesia. Melalui penggerebekan tersebut Hatta bersema dengan Empat orang aktivis Perhimpoenan Indonesia lainnya di penjarakan oleh Belanda. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih enam bulan di penjara, mereka lalu di bawa ke pengadilan di Den Haag. Mereka mendapatkan kesempatan untuk membela diri selama persidangan. Hatta memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelaskan Nasional Indonesia. Dalam pidato tersebut, Hatta memaparkan adanya konflik kepentingan antara Indonesia dan Belanda, sebab itu Indonesia tak dapat bekerja sama dengan Belanda. Hatta berpendapat bahwa kerja sama antara Indonesia dan Belanda mungkin saja bisa terjadi dengan pertimbangan bahwa Indonesia telah merdeka secara menyeluruh dan mendapat perlakuan yang setara sebagai sebuah negara merdeka bukan sebagai daerah yang menjadi daerah jajahan. Pidato pembelaan diri Hatta tersebut dikenal kemudia hari sebagai Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) atau lebih populer Pidato Pembebasan Indonesia.
Hatta dan keempat aktivis Perhimpoenan Indonesia yang ditahun 1927 baru dibebaskan pada tahun 1929. Pada Tahun 1932, Hatta memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
Perjuangan dan Pergerakan Mohammad Hatta
Perjuangan Mohammad Hatta Melawan Kekuasaan Kolonial Belanda
Hatta kembali ke Indonesia dengan keadaan Nasionalisme Indonesia yang
mengalami perlambatan. Perlambatan ini terjadi karena penangkapan dan
pemenjaraan Soekarno. Sekembalinya Hatta, sebagian besar anggota dari
PNI Soekarno terlah bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), dan
bersama dengan anggota PNI yang lebih radikal, Sutan Syahrir yang
berpendidikan Belanda dipaksa untuk membentuk PNI baru. Meskipun nama
yang digunakan sama, PNI baru bertujuan untuk Pendidikan Nasional
Indonesia yang hanya akan berfokus pada pelatihankader. Pada bulan
Agustus 1932 saat Hatta kembali ke Indonesia, Ia ditunjuk sebagai Ketua
dari PNI yang baru.
Saat Desember 1932, Soekarno dibebaskan dari penjara. Perhatian publik
beralih kepada putusan yang akan dipilih oleh Soekarno terkait
partaimana yang akan dipilihnya. Soekarno yang menginkan satu wadah yang
menginkan kemerdekaan Indonesia masih belum menentukan pilihan yang
tepat. Hal ini mendapat kritikan langsung dari Hatta yang memiliki
pemikiran yang lebih pragmatis memandang perbedaan. Hal yang membuat
bingung Soekarno adalah pertikaian yang terjadi karena pendekatan yang
dilakukan oleh massa dan kader Partindo yang radikal melawan pendekatan
yang dilakukan oleh kader partai PNI baru yang moderat dan pendekatan
langsung oleh kader dari partai. Soekarno berinisiatif untuk menyatukan
Partindo dan PNI baru. Namun usaha penggabungan itu gagal dan Soekarno
memilih untuk bergabung dengan Partindo.
Antara 1932 hingga 1933, Hatta menulis artikel tentang Politik dan
Ekonomi untuk koran PNI baru yakni Koran Daulat Rakyat. Artikel itu
bertujuan untuk melatih para kader baru untuk kepemimpinan Indonesia.
Pada saat itu, Hatta sangat kritis tehadap Soekarno. Agustus 1933, Soekarno ditangkap lagi dan dihadapkan dengan pengadilan, Hatta menulis Artikel terkait dengan penangkapan Soekarno dan diberi judul "Soekarno ditangkap". Artikel tersebut kemudia dengan artikel lain yang berjudul "Tragedi Soekarno" artikel yang diterbitkan pada November 1933 dan diteruskan dengan artikel yang berjudul "Sikap Sang Pemimpin", terbit pada Desember 1933.
Pemerintah Kolonial Belanda menghukum Soekarno dengan hukuman pengasingan ke Ende di pulau Flores pada Desember 1933. Setelah pengasingan Soekarno, Pemerintah Kolonial Belanda lalu berfokus pada PNI baru. Februari 1934, Pemerintah Kolonial Belanda menangkap para pemimpin PNI baru termasuk Mohammad Hatta yang dari cabang Jakarta dan para pimpinan PNI baru yang berasal dari cabang Bandung. Selama hampir setahun mereka menghabiskan masa hukumannya di enjara Cipinang dan Penjara Glodok, Hatta melalui masa hukumannya di penjara Glodok. Selama masa hukumannya, Hatta menulis Buku yang berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalism".
Pada Januari 1935, pengadilan memutuskan bahwa Hatta dan para pimpinan PNI baru lainnya termasuk Syahrir akan di asingkan ke Boven Digoel di Papua. Ketika Hatta tiba di Boven Digoel, ia ditawari dua opsi. Opsi pertama ialah ia bekerja untuk Kolonial Belanda sebagai pegawai sipil dengan gaji 40 sen per hari dan memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Opsi kedua adalah menjadi terasing dan mendapat makanan tetapi tak memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Hatta sempat berceletuk jika ia memilih berkerja sebagai pegawai sipil di jakarta maka ia akan mendapatkan banyak uang maka ia tak perlu ke Boven Digoel yang hanya di bayar murah. Setelah mengatak hal tersebut Hatta memilih opsi yang kedua.
Selama masa pengasingannya, Hatta terus menulis artikel, kali ini Hatta banyak menulis untuk Koran Pandangan. Dari menulis artikel, Hatta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu beberapa temannya yang mengalami masalah keuangan. Hatta juga menggunakan buku yang sempat ia kemas sebelum diasingkan ke Boven Digoel (yakni sebanyak 16 peti) untuk mengajar teman-temannya yang berada di tempat pengasingan. Hatta tentu banyak mengajar tenatang Ekonomi, Sejarah, dan Filsafat. Kelak di kemudian hari, Hatta menuliskan buku tentang pengalamannya mengajar selama di pengasingan. Buku tersebut diberi judul "Pengantar Menuju Jalan Pengetahuan" ( An Introduction on the Way of Knowledge) dan "The Nature of Greek Thought" yang terdiri atas empat jilid.
Pada saat itu, Hatta sangat kritis tehadap Soekarno. Agustus 1933, Soekarno ditangkap lagi dan dihadapkan dengan pengadilan, Hatta menulis Artikel terkait dengan penangkapan Soekarno dan diberi judul "Soekarno ditangkap". Artikel tersebut kemudia dengan artikel lain yang berjudul "Tragedi Soekarno" artikel yang diterbitkan pada November 1933 dan diteruskan dengan artikel yang berjudul "Sikap Sang Pemimpin", terbit pada Desember 1933.
Pemerintah Kolonial Belanda menghukum Soekarno dengan hukuman pengasingan ke Ende di pulau Flores pada Desember 1933. Setelah pengasingan Soekarno, Pemerintah Kolonial Belanda lalu berfokus pada PNI baru. Februari 1934, Pemerintah Kolonial Belanda menangkap para pemimpin PNI baru termasuk Mohammad Hatta yang dari cabang Jakarta dan para pimpinan PNI baru yang berasal dari cabang Bandung. Selama hampir setahun mereka menghabiskan masa hukumannya di enjara Cipinang dan Penjara Glodok, Hatta melalui masa hukumannya di penjara Glodok. Selama masa hukumannya, Hatta menulis Buku yang berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalism".
Pada Januari 1935, pengadilan memutuskan bahwa Hatta dan para pimpinan PNI baru lainnya termasuk Syahrir akan di asingkan ke Boven Digoel di Papua. Ketika Hatta tiba di Boven Digoel, ia ditawari dua opsi. Opsi pertama ialah ia bekerja untuk Kolonial Belanda sebagai pegawai sipil dengan gaji 40 sen per hari dan memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Opsi kedua adalah menjadi terasing dan mendapat makanan tetapi tak memiliki harapan untuk kembali dari pengasingan. Hatta sempat berceletuk jika ia memilih berkerja sebagai pegawai sipil di jakarta maka ia akan mendapatkan banyak uang maka ia tak perlu ke Boven Digoel yang hanya di bayar murah. Setelah mengatak hal tersebut Hatta memilih opsi yang kedua.
Selama masa pengasingannya, Hatta terus menulis artikel, kali ini Hatta banyak menulis untuk Koran Pandangan. Dari menulis artikel, Hatta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu beberapa temannya yang mengalami masalah keuangan. Hatta juga menggunakan buku yang sempat ia kemas sebelum diasingkan ke Boven Digoel (yakni sebanyak 16 peti) untuk mengajar teman-temannya yang berada di tempat pengasingan. Hatta tentu banyak mengajar tenatang Ekonomi, Sejarah, dan Filsafat. Kelak di kemudian hari, Hatta menuliskan buku tentang pengalamannya mengajar selama di pengasingan. Buku tersebut diberi judul "Pengantar Menuju Jalan Pengetahuan" ( An Introduction on the Way of Knowledge) dan "The Nature of Greek Thought" yang terdiri atas empat jilid.
Januari 1936, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira, Maluku. Di
Bandaneira, Hatta bergabung dengan beberapa pejuang Nasional lainnya,
diantaranya; Iwa Kusumasumantri dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Selama
berada di Bandaneira, Hatta dan Syahrir mendapat lebih banyak kebebasan
sehingga mereka dapat berinteraksi dengan penduduk lokal. Hata dan
Syahrir juga berkesempatan untuk memberi pelajaran bagi anak-anak di
Bandaneira, mereka mengajarkan tentang politik dan Sejarah. Hatta juga
mengadopsi anak di Bandaneira yakni Des Alwi yang kelak akan menjadi
seorang sejarawanIndonesia dan juga seorang diplomat. Pada Februari
1942, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat.
Bung Hatta Selama Masa Pendudukan Jepang
Tahun 1942, Perang Dunia Kedua meletus dan Kekaisaran Jepang mulai
memperluasan kekuasannya ke wilyah Asia Timur dan wilayah Asia Tenggara.
Pda Bulan Maret 1942, Pasukan kekaisara Jepang mulai mendarat di
wilayah Indonesia. Sama halnnya dengan rekan mereka di Eropa, Pemerintah
Kolonial Belanda kalah dalam menghadapi Penjajah. Pada 9 Maret 1942,
Pemerintah Belanda menyerah kepada Kekaisaran Jepang. Pada 22 Maret
1942, Hatta dan Syahrir di transfer kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Hatta bertemu denga Mayor Jendral Harada, Kepala Interim dari Kekaisaran Jepang. Harada meminta Hatta untuk menjadi penasihat Bagi perwakilan Kekaisaran Jepang. Hatta lalu menerima tawaran tersebut dan meminta Harada agar Jepang mau mengkoloni Indonesia. Harada lalu meyakinkan Hatta bahwa hal tersebut tak akan pernah terjadi. Menurut Hatta, pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Jepang adalah hal yang sangat penting. Jika Jepang, yang memiliki ideologi ultra-nasionalis, mau mengakui Kemerdekaan Indonesia maka hal itu akan mampu memberikan tekanan pada sekutu (terutama bagi Amerika Serikat dan Inggris) yang menjajikan demokrasi bagi Indonesia.
Pada Juli 1942, Hatta kembali bertemu dengan Soekarno yang terlebih dahulu dipindahkan ke Sumatera dari Flores sebelum Jepang memasuki Indonesia. Soekarno yang dipindahkan ke Jakarta juga untuk dimintai jasanya. Meskipun Hatta dan Soekarno memiliki perselisihan di masa lamapau, Soekarno ingin berbicara secara pribadi dengan Hatta terlebih dahulu sebelum berbicara dengan pihak yang pihak lainnya. Dalam sebuah pertemuan rahasia di rumah Hatta yang terletak di Jakarta, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir bersepakat bahwa Sjahrir akan melakukan pergerakan bawah tanah untuk menggalang perlawanan revolusionel. Sementara Hatta dan Soekarno akan memulai melakukan kerja sama mereka dengan pihak Kekaisaran Jepang yang selanjutnya akan mencoba untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ki Hadjar Dewantoro dan Kiai Haji Mas Mansur, pimpinan Muhammdiyah, Hatta dan Soekarno mulai membentuk grup yang terdiri dari para pimpinan yang nanti akan menjadi penyambung lidah bagi pemerintahan Kekaisaran Jepang.
Hatta dan danggota kelompok lainnya bekerja dengan semangat di bawah pimpinan Jepang. Mereka menggemakan Propaganda Jepang yang dikenal dengan istilah 3A, yakni "Jepang Pemimpin Asia", "Jepang Pelindung Asia", dan "Jepang Cahaya Asia". Propaganda ini bukan semata hasil dari pemikiran dari Hatta dan kawan-kawan, melainkan hasil dari pemikiran Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Di saat bersamaan Hatta tetap menyuarakan keinginan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam pidatonya bulan Desember 1942, Hatta mengatakan bahwa Indonesia sudah lepas dari belenggu penjajhan Blenda, namun jika mereka lepas dari cengkraman Belanda hanya untuk dijajah oleh pihak lain maka Hatta lebih suka jika Indonesia tenggelam di dasar lautan daripada dijajah lagi oleh pihak lain.
Pada 9 Maret 1943, Kekaisaran Jepang menyetujuai pendirian Putera (Pusat Tenaga Rakyat), di mana Hatta dan kawan-kawannya dijadikan pimpinannya. Soekarno berpendapat bahwa dengan terbentuknya Putera, Indonesia akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan dukungan kemerdekaan namun di pihak lain, Jepang memanfaatkan propaganda tersebut untuk memulai romusha (sistem kerja paksa di masa pendudukan Jepang) di Indonesia.
Pada November 1943, usaha kerjasama Hatta dan Soekarno dengan Jepang diakui oleh Kaisar Hirohito dengan memberikan kedua penghargaan di Tokyo.
Sebagai imbas dari kekalahan Jepang di wilayah yang dijajahnya, mereka mulai putus asa dalam mempertahankan kontrol pemerintahan.
Pada Maret 1944, Putera dibubarkan dan digantikan oleh Djawa Hokokai. Meski masih dipimpin oleh Soekarno, penduduk Indonesia memiliki kebebasan lebih sedikit dibanding saat Putera belum dibubarkan. Saat Jepang sudah hampir kalah, pada september 1944 Perdana Mentri Koiso menjajikan kemerdekaan bagi Indonesia dalam waktu dekat.
Semenjak saat itu, orang-orang mulai berkumpul dan membicarakan perkara kemerdekaan. Selain dipicu oleh isu nasionalis, dukungan dari Laksamana muda Tadashi Maeda yang merupakan perwakilan pihak Jepang juga mendukung kemerdekaan Indonesia makin membuat semangat kemerdekaan berkobar. Maeda tak hanya memberikan dukungan dalam bentuk perkataan, Maeda juga mendirikan forum diskusi di kediaman pribadinya di Jl. Imam Bonjol, No 1. Forum tersebut diberi nama "Pusat Kemerdekaan Indonesia", dan Maeda menjamin kemanan mereka selama berdiskusi.
Proklamasi Kemerdekaan
Mepersiapkan Kemerdekaan Indonesia
Saat mendekati Proklamasi Kemerdekaan, pada 22 Juni 1945, Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk
panitia sembilan yang mengemban tugas untuk mengolah usul dan konsep
dasar negara Indonesia. Panitia sembilan sesuai namanya beranggotakan
sembilan orang yakni, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Mohammad Yamin,
A.A. Maramis, Wahid Hasyim, Abdulkahar Muzakir, Abikusno Tjokrosujoso,
dan Haji Agus Salim serta diketuai langsung oleh Soekarno.
Pada bulan Agustus 1945, Jepang berada di ujung tanduk kekalahan. Pada
bulan ini, Jepang akhirnya menyetujui kemerdekaan Indonesia dan
membentuk Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 8 Agustus
1945, Hatta dan Soekarno dipanggil ke Saigon untuk bertemu dengan
Marsekal Terauchi yang merupakan Panglima Pasukan Jepang di Asia
Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus, Hatta dan Soekarno serta Radjiman
Wedyodiningrat berangkat menuju Dalat (vietnam) dan dilantik sebagai
Ketua dan Wakil Ketua PPKI yang dilantik langsung oleh Marsekal
Terauchi. Terauc!8 agustus dan Indonesia akan terbebasa dari Supervisi
Jepang.
Hatta dan Soekarno kembali ke Indonesia pada 14 Agustus 1945. Syahrir sudah menunggu Hatta kembali dari Vietnam dan ingin segera memberitahukan berita tentang bom atom yang di jatuhkan oleh Amerika di Jepang. Sjahrir menyarankan kepada Hatta untuk segera menyampaikan berita tersebut pada Soekarno agar ia mengambil inisiasi untuk Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, karena menurut Sjahrir, Jepang tak akan ada dalam beberapa hari untuk melakukan supervisi. Sjahrir juga meyakinkan Hatta untuk tak perlu khawatir kepada pemerintah Jepang karena rakyat berada di pihak mereka.
Sjahrir dan Hatta kemudian bertemu dengan Soekarno, dan Sjahrir mengulang kembali argumennya yang sama disampaikan pada Hatta di depan Soekarno. Namun Hatta memiliki kecemasan mereka akan disebut bekerjasama dengan Jepang oleh sekutu. Soekarno sependapat dengan Hatta sehingga membuat Sjahrir frustasi dan meninggalkan diskusi.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah pada Amerika. Namun di Indonesia berita tersebut masih berupa desas desus yang belum bisa dikonfirmasi. Hatta dan Soekarno lalu bergegas ke gedung Pemerintahan Jepang untuk mengkonfirmasi berita tersebut namun yang ditemui hanyalah gedung yang kosong. Hatta dan Soekarno lalu memutuskan untuk mengunjungi Maeda. Maeda mengkonfirmasi bahwa berita tersebut benar adanya. Hatta dan Soekarno terkejut mendengar berita kekalahan Jepang kepada sekutu. Pada sore harinya, Hatta dan Soekarno berhadapan dengan golongan pemuda yang menghendaki Proklamasi Kemerdekaan segera proklamirkan. Soekarno menanggapi keinginan para pemuda dengan mengatakan agar para pemuda memiliki kesabaran. Soekarno malah mengatakan bahwa para golongan muda tak mampu memproklamasikan kemerdekaan tanpa dirinya.
Dini hari 16 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno diculik oleh para pemuda dan di bawa ke Rengasdengklok. Para pemuda terus memaksa Hatta dan Soekarno Untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, namun tidak berhasil. Sementara itu di Jakarta terjadi kepanikan karena pada hari itu PPKI akan memulai pertemuan yang akan mengusung Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua. Saat mengetahui keberadaan Hatta dan Soekarno dan kekalahan Jepang telah dikonfirmasi, Achmad Soebardjo, salah satu perwakilan PPKI, bergegas menuju Rengasdengklok untuk menyampaikan berita kekalahan Jepang kepada Hatta dan Soekarno. Malam itu juga, Hatta dan Soekarno bertolak menuju Jakarta. Di rumah Tadashi Maeda, mereka merumuskan prosesi Proklamasi Kemerdekaan.
Akhirnya pada 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dituangkan dalam secarik kertas kecil yang diketik oleh Sayuti Melik dan ditandatangi oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Wakil Presiden
Pemilihan dan Masa Sebulan Pertama saat Hatta menjabat Wakil Presiden
Pada 18 Agustus 1945, Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden pertama
Indonesia yang ditunjuk oleh PPKI mewakili Soekarno yang ditunjuk
sebagai Presiden pertama Indonesia. Sebagai Wakil Presiden, Hatta segera
menyesuaikan diri sebagai
Drs. Mohammad Hatta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar