Namun demikian, bukan itu maksud saya. Karena kalau kita menggunakan contoh tadi sebagai parameter hemat-borosnya sebuah perjalanan, sehebat apapun manajemen penghematan yang kita lakukan, hasil akhirnya jelas jauh lebih murah wisata di Pulau Jawa ketimbang berwisata ke Papua.
Bagi yang sering bepergian, mungkin pernah—setidaknya sekali-dua—menemui kenyataan kalau teman kalian yang pergi ke satu lokasi wisata yang sama, dalam waktu yang hampir bersamaan, menyatakan bahwa biaya perjalanan mereka ber-rupiah lebih murah ketimbang biaya yang kalian keluarkan. Ya, kan? Kalau sudah begitu, “magical words” favorit yang kita keluarkan saat mendengarnya, akan semisal dengan: “Lah! kok bisa!?”
Saya sendiri sering mengalami hal ini pada kedua sisi; mengeluarkan biaya perjalanan yang lebih mahal atau lebih murah daripada teman-teman lain.
Khusus untuk biaya perjalanan yang murah dan hemat, beberapa murni karena Dewi Fortuna sedang berada di pihak saya, sementara beberapa yang lain merupakan hasil dari planning/perencanaan yang matang dan butuh waktu yang umumnya relatif panjang. Kalian tahu kenapa?
Karena kita harus memastikan kombinasi berbagai keadaan agar dapat berjalan dalam waktu yang bersamaan—seperti; tiket murah, kesehatan, kondisi finansial, waktu yang tepat, perijinan (entah dari kantor, atau dari lokasi wisata itu sendiri—bila memang diharuskan menggunakan ijin tertulis dari instansi berwenang terkait), anggota tim, ketersediaan transportasi umum, dan lain sebagainya.
Karena faktor keberuntungan sangat sulit dikendalikan, maka pada artikel kali ini saya hanya akan berfokus pada faktor-faktor yang berkaitan dengan rencana penghematan biaya perjalanan saja.
Kira-kira, faktor apa saja yang dapat mempengaruhi hemat tidaknya perjalanan kalian? Ini dia beberapa daftarnya:
Teman perjalanan
Berkaitan dengan teman perjalanan, kita dapat melihatnya dari 2 sisi, yaitu; dari sisi jumlah, dan dari sisi bilangan (ganjil-genap).
- Dari sisi jumlah
Sebenarnya, sharing cost juga dapat dilakukan dalam hal kuliner. Namun, pada beberapa kasus, penerapan konsep berbagi ini akan terasa tidak adil bagi orang-orang yang kebiasaan makannya tidak terlalu banyak dan merasa cukup dengan lauk pauk sederhana saja.
Contoh:
Si A, sudah merasa cukup dengan makan nasi, 1 macam sayuran, ditambah tahu tempe. Sementara si B, tidak bisa makan bila tidak ada daging-dagingan dalam setiap menu makannya. Itu pun masih ditambah dengan lauk pauk sampingan seperti sayur dan goreng-gorengan lain.
Dengan contoh di atas, mari kita asumsikan demikian: dalam satu kali makan, A hanya menghabiskan pengeluaran rata-rata sebesar 10,000Rp. Sementara B menghabiskan pengeluaran rata-rata sebesar 18,000Rp.
Atas nama kebersamaan dan agar terkesan adil, (entah sadar atau tidak) kebanyakan kita akan menjumlahkan total pengeluaran masing-masing, kemudian membaginya dengan jumlah personil.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka perhitungannya akan tampak seperti berikut:
Total pengeluaran bersama = 10,000Rp + 18,000Rp = 28,000Rp
Sekali lagi. Agar terkesan ‘adil,’ jumlah total pengeluaran bersama
ini (28,000Rp) akan kita bagi dengan jumlah personil yang 2 orang tadi,
sehingga perhitungannya akan tampak seperti ini:
28,000Rp : 2 (orang) = 14,000Rp
Dari hasil akhir di atas, tampak jelas selisih pengeluaran antara
harga YANG SEHARUSNYA dikeluarkan A (10,000Rp), dengan harga YANG
TERPAKSA ditanggung A (14,000Rp).Itu pun kalau mereka hanya pergi berdua. Bayangkan, bila A bepergian dengan beberapa teman yang gaya makannya mirip betul dengan B. Berapa banyak pengeluaran tidak perlu yang harus ditanggungnya? Belum lagi dikalikan dengan 3 kali makan setiap harinya. Kalikan lagi dengan durasi (jumlah hari) perjalanan mereka.
Sekarang, mari kita asumsikan durasi perjalanan wisata mereka adalah 5 hari;
Bila merujuk pada contoh di atas, maka A harus menanggung pengeluaran tidak perlu sebesar 4,000Rp sekali makan. Jika dalam sehari mereka makan 3 kali, berati biaya yang harus ditanggung A menjadi 12,000Rp. Bila perjalanan mereka membutuhkan waktu selama 5 hari, berarti biaya yang harus ditanggung A akan membengkak menjadi 60,000Rp.
Memang, di lapangan, kondisinya tidak ‘sesempurna’ itu. Contoh tersebut sengaja saya sederhanakan agar mudah dicerna.
Nah! Untuk yang punya pola makan seperti A, saya tidak mengajarkan kalian untuk jadi pribadi yang pelit, ya. Sementara untuk yang memiliki pola makan seperti B, agar mempertimbangkan kembali konsep ‘kebersamaan’ dan ‘keadilan’ kalian dalam urusan makan. Terutama pada kasus-kasus seperti yang saya contohkan barusan.
Kembali ke masalah transportasi. Yang perlu kalian ingat adalah: untuk setiap transportasi yang sifatnya sewa, hampir dapat dipastikan sharing cost bisa dilakukan. Sementara untuk setiap transportasi yang sifatnya individual—seperti; pesawat, kapal ferry, ojek, bus umum, dan lain-lain—sharing cost jelas tidak dapat dilakukan.
- Dari sisi bilangan
Namun demikian, ada kalanya bilangan teman seperjalanan—entah itu ganjil, atau genap—tidak akan terlalu mempengaruhi besar-kecilnya pengeluaran biaya untuk komponen-komponen perjalanan yang sifatnya ‘massal,’ seperti; sewa kapal untuk island hopping, sewa villa atau home stay, sewa kendaraan, dan yang sejenisnya. Dengan syarat!…
Jumlah teman seperjalanan kita sesuai dengan (atau mendekati) kuota maksimal komponen perjalanan bersangkutan.
Contoh:
Penginapan A dapat menampung sampai dengan 10 orang maksimal. Harga sewanya = 500,000Rp per hari. Jika jumlah kelompok kalian = 9 orang—jumlah yang mendekati kuota maksimal penginapan—maka biaya yang harus dikeluarkan per orangnya adalah:
500,000Rp : 9 orang = 55,555.55Rp
Jika diasumsikan jumlah kelompok kalian = 10 orang—jumlah yang sesuai
kouta maksimal penginapan—maka biaya yang harus dikeluarkan per
orangnya menjadi:
500,000Rp : 10 orang = 50,000Rp
Dengan perhitungan seperti itu, maka selisih antara keduanya menjadi:
55,555.55Rp – 50,000Rp = 5,555.55Rp
Selisih biaya yang relatif kecil seperti inilah yang saya maksud
dengan, “tidak akan terlalu mempengaruhi besar-kecilnya pengeluaran
biaya untuk komponen-komponen perjalanan yang sifatnya massal”
sebelumnya.“Dengan contoh yang sama. Kalo harga sewa penginapannya sehari 5 juta, selisihnya tetep jadi mahal dong! Kan, selisih per orangnya jadi 55,555Rp.”
Betul. 55,555Rp itu lebih mahal. Tapi!… kalau jumlah kelompok yang 9-10 orang itu mampu menyewa penginapan yang harganya sampai 5 juta per hari. Itu artinya, mereka termasuk orang-orang mampu, dong. Seharusnya, selisih yang 55,555Rp per orang itu termasuk harga yang murah untuk ukuran mereka. Betul, tidak?
Cari dan manfaatkan berbagai sumber referensi
Pengetahuan itu separuh kemenangan. Dengannya, kita bisa melihat ranah gelap yang sebelumnya tak kasatmata, kemudian memanfaatkan segala informasi yang terkandung di dalamnya sebagai bekal acuan penyusunan strategi berikutnya. Lantas, dari mana sajakah informasi-informasi atau referensi-referensi ini bisa kita dapatkan?
Ini dia beberapa daftarnya:
- Internet
Saat ini internet telah menjadi semacam
perpustakaan umum raksasa yang dapat kita datangi kapan saja. Lautan
informasi yang tersedia di sana sangat luar biasa. Aliran informasi baru
yang mengalir ke samuderanya bukan lagi dalam hitungan menit, tapi
detik. Itu pun masih ditambah dengan bermunculannya sumber-sumber
informasi (situs) baru tiap detiknya.
Lantas, apakah dengan demikian, pencarian kita menjadi lebih mudah? Jawabannya bisa ‘Ya,’ bisa juga ‘Tidak.’
‘Ya,’ bila kita membandingkannya dengan keadaan sebelum internet yang kita kenal sekarang ini menjadi booming, dan
‘Tidak,’ jika sebanyak apapun situs yang kita sambangi, berisi
informasi yang itu-itu juga—hanya beda gaya bahasa. Namun demikian,
kondisi ini masih lebih baik daripada buta informasi sama sekali.
- Forum
Sebagaimana kita ketahui bersama, forum
adalah tempat berkumpulnya berbagai macam orang yang (biasanya) memiliki
minat sejenis. Dengan menyebut ‘forum’ di sini, tentu arahnya kepada
forum traveling/backpacking/jalan-jalan.
Sebenarnya forum yang saya maksudkan di
sini, masih merupakan bagian dari internet, hanya ruang lingkupnya lebih
spesifik. Bila internet kita ibaratkan sebagai sebuah perpustakaan,
maka forum adalah sebuah ruangan dalam perpustakaan, tempat para
pengunjung/pembaca bisa saling berdiskusi dan bertukar pikiran.
Dibandingkan dengan situs/blog yang
mengangkat wisata sebagai tema mereka, intensitas pertukaran informasi
yang terjadi pada sebuah forum traveling jelas lebih tinggi.
Setidaknya, bila kita melemparkan suatu
pertanyaan ke suatu forum, peluang untuk mendapatkan jawaban akan lebih
tinggi, lebih cepat, dan lebih bervariasi, ketimbang meninggalkan
pertanyaan pada kolom komentar pada sebuah situs/blog perjalanan.
Mengapa?
Karena forum ini tidak hanya didominasi
oleh satu atau beberapa orang saja (pemilik/penulis situs/blog), tapi
bisa puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan manusia dengan minat sama
berkumpul di dalamnya.
- Komunitas
Komunitas adalah tempat berkumpulnya
berbagai macam orang, dengan minat yang serupa. Hampir sama dengan
forum. Hanya bedanya, bila forum bersifat bebas tanpa ikatan, maka pada
komunitas, sifatnya lebih terikat—yang pada beberapa kasus, mereka
memiliki “undang-undang”-nya sendiri.
Komunitas pada umumnya memiliki kecenderungan aktifitas secara offline.
Di dunia nyata. Dari komunitas kita juga bisa menggali informasi detil
terkait suatu tempat/lokasi wisata yang hendak didatangi. Salah satu
dari mereka (anggota komunitas), boleh jadi adalah pemilik situs/blog
perjalanan yang pernah kita datangi.
Seringkali saya jumpai, apa yang ditulis
pada situs/blog yang mereka kelola, tidak sedetil bila kita menanyakan
langsung kepada mereka secara personal. Kenapa ini bisa terjadi?
Karena, suka atau tidak, menulis itu jauh
lebih sulit daripada berbicara/bercerita. Itulah sebabnya mengapa kita
butuh 10 jari bertulang untuk menulis (mengetik?), dan hanya butuh 1
mulut—dengan 1 lidah tak bertulangnya—untuk berbicara/bercerita.
- Teman
Jaringan pertemanan berada pada level yang
lebih spesifik daripada forum dan komunitas. Walau tidak selamanya
benar, bertanya pada teman yang benar-benar kita kenal, tentu cenderung
lebih nyaman ketimbang bertanya pada teman yang hanya kita jumpai pada
acara-acara komunitas saja, kan?
Dari seorang teman, kita juga bisa
menggali informasi-informasi spesifik yang mungkin tidak diketahui atau
tidak pernah disampaikan di kalangan komunitas. Tentu, jenis teman yang
pada dasarnya juga senang/sering jalan-jalan.
***
Sebenarnya masih banyak sumber-sumber referensi lain yang bisa kita
gunakan untuk menggali informasi tentang sebuah lokasi wisata, seperti
misalnya; surat kabar, majalah, buku panduan wisata, selebaran, dan lain
sebagainya. Namun, karena kecenderungan kita lebih banyak tertuju pada 4
hal di atas—yang bisa dibilang gratis—maka, itulah materi yang saya
pilihkan untuk kalian. Selebihnya, silahkan cari sendiri, ya. -)Bawa makanan dari rumah
Reaksi kalian saat pertama kali membaca kalimat tersebut mungkin seperti ini: “Mana mungkin! Kalo perjalanannya satu minggu, pasti basi!,” atau ini, “Berat-beratin bawaan aja, kayak gak ada orang jual makanan aja di jalan (atau tempat wisata)!” dan sejumlah reaksi lain yang bisa kalian temukan sebagai alasan untuk tidak membawa makanan dari rumah.
Itu tidak salah. Karena biar bagaimana, saya pun sering menemukan alasan-alasan serupa saat hendak melakukan suatu perjalanan. Apalagi kalau saya sedang “kaya raya” dan merasa bahwa uang yang saya punya lebih dari cukup, bahkan untuk membeli makanan yang lebih mahal sekali pun—selama harganya masih masuk akal.
Tapi, karena tema kita kali ini adalah berhemat, maka, mari kita kesampingkan alasan-alasan logis tersebut untuk sementara waktu.
Sebenarnya, makanan yang mudah basi pun bisa kita bawa sebagai bekal perjalanan, asalkan jangan direncanakan untuk dikonsumsi dalam rentang waktu yang cukup panjang. Kenapa? Ya, itu tadi. Gampang basi. Masak lupa?
Saat melakukan sebuah perjalanan, saya sering membawa jenis makanan yang mudah basi dari rumah—seperti; nasi dan sayuran—tetapi, rentang waktu konsumsinya saya batasi hanya 1×24 jam, macam orang bertamu, dan hanya direncanakan untuk 2-3 kali makan sejak waktu keberangkatan.
Jadi, 1 bungkus untuk perbekalan di jalan—yang biasanya malam hari—menuju lokasi wisata, 1 bungkus untuk sarapan pada pagi harinya, dan 1 bungkus lagi untuk makan siang di hari yang sama. Selebihnya, baru jajan di warung-warung makan di pinggir jalan.
Bila dihitung-hitung, dengan melakukan 1 hal sederhana ini saja, maka saya sudah menghemat biaya perjalanan sebesar 45,000Rp (dengan asumsi; 1 kali makan = 15,000Rp). Jumlah yang lumayan, apalagi pada saat kita kekurangan (atau tidak punya) uang.
Sebaliknya. Untuk lauk-pauk kering yang notabene tidak mudah basi, sangat cocok dibawa untuk perjalanan mendaki gunung, atau perjalanan wisata yang memakan waktu cukup lama, seperti contohnya; perjalanan panjang saya selama 2 minggu dengan 2 orang teman, sekitar 2 tahun yang lalu—mulai dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Lumajang (Gunung Semeru), Probolinggo (Gunung Bromo), Situbondo (Taman Nasional Baluran), Banyuwangi (Kawah Ijen), Jember (Jember Fasion Carnaval – 2012), Jogjakarta, hingga kembali lagi ke Jakarta.
Saat itu, saya membawa orek tempe kering dan rendang kering sebagai bekal perjalanan (demi penghematan) yang ternyata! Berubah fungsi menjadi benteng pertahanan pangan terakhir saat kekurangan makanan waktu pendakian Gunung Semeru tengah berlangsung. Hahaha.
Selain orek tempe dan rendang kering, apalagi jenis lauk-pauk kering yang bisa kalian bawa? Ada beberapa, seperti misalnya; orek teri, abon, keripik tempe, emping, dan lain-lain. Supaya terasa ringan, kalian bisa berbagi tugas dengan teman-teman seperjalanan lain. Boleh berbagi dalam hal jumlah, atau dalam hal jenis lauk pauknya.
‘Mendompleng’ perjalanan dinas
Apa kira-kira bahasa yang paling tepat untuk istilah ‘mendompleng’ ini agar tidak terkesan negatif, ya? Menumpang? Menyesuaikan? Atau, men-sekalian-kan? Hmm, istilah terakhir ini agak aneh. Baiklah, kalau begitu, mari kita gunakan istilah ‘menyesuaikan’ saja.
Menyesuaikan perjalanan wisata dengan perjalanan dinas secara paralel jelas memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, karena dengan demikian, kita tidak perlu lagi memikirkan biaya transportasi mayor yang umumnya cukup menguras kantong.
Misal; (diasumsikan)
- Kalian berkantor di Jakarta.
- Ditugaskan ke Surabaya untuk melakukan perjalanan dinas, yang dengannya, biaya transportasi (pesawat) pergi-pulang (PP) Jakarta-Surabaya sudah ditanggung perusahaan.
- Tujuan wisata: Kota Surabaya dan sekitarnya.
Namun demikian, strategi “Poor man” ini juga memiliki kelemahannya sendiri, seperti;
- Sangat tergantung pada kebijakan perusahaan. Kadang, pada level-level tertentu, biaya transportasi tidak ditanggung perusahaan—tergantung bonafide tidaknya perusahaan bersangkutan.
- Pengajuan cuti harus menyesuaikan dengan tanggal perjalanan dinas, yang mana, bisa diijinkan oleh atasan, bisa juga tidak.
- Harus mengurus tiket pulang agar bisa disesuaikan dengan rencana kepulangan kita (setelah liburan) kepada departemen yang berwenang. Itu pun masih tergantung pada kebijakan perusahaan—apakah membolehkan atau tidak.
- Pada umumnya, kondisi seperti ini menuntut kita untuk melakukan perjalanan seorang diri, yang dengan kata lain, kita tidak bisa berbagi biaya perjalan dengan siapapun. Hmm, sebenarnya bisa. Dengan syarat; harus aktif mencari teman (untuk berbagi biaya) selama masa perjalanan berlangsung.
- Yang terakhir dan merupakan syarat mutlak dari kondisi ini adalah; kalian harus berstatus karyawan atau pemilik perusahaan.
Pesan tiket jauh-jauh hari
Ada 2 tipe tiket yang bisa kita pesan jauh-jauh hari sebelum waktu keberangkatan, yaitu tiket reguler dan tiket promo.
Berkaitan dengan tiket promo. Ada kalanya tiket promo menjadi sangat murah dibandingkan dengan harga normal yang biasanya berlaku, tapi tak jarang juga harga tiket promo ini hampir mendekati harga normalnya.
Namun demikian, jenis tiket (promo) ini memiliki kelemahan, yaitu; untuk mendapatkannya kita harus berkompetisi dengan predator-predator tiket murah lainnya. Semakin murah harganya, semakin ketat pula peta persaingannya – istilah sangarnya: “Bloody competition.”
Terlepas dari fakta tersebut, bila rasio antara harga dan usahanya dianggap sepadan, saya kira tak ada salahnya tiket promo ini kalian perjuangkan. Tapi sekali lagi, ‘perjuangan’ ini adalah pilihan.
Jangan lupa! Kalian juga harus memperhitungkan beberapa faktor, seperti; harus begadang menunggu jam tayang situs penjualan/pemesanan tiket, akses internet yang tiba-tiba galau, website resmi operator transportasi bersangkutan hang, kartu kredit yang gak taunya sudah mencapai limit, harus mengetik satu per satu data diri kita dan beberapa orang teman yang titip beli tiket—yang kadang baru ketahuan kalau ternyata salah satu dari mereka belum menyerahkan fotokopi datanya, dan cobaan-cobaan lain yang terkutuk.
Sebaliknya, tingkat kompetisi yang ditawarkan tiket reguler yang kita pesan jauh-jauh hari, pada umumnya cenderung lebih longgar – selama tidak terkait dengan liburan sekolah, libur hari besar keagamaan, dan tahun baru.
Namun demikian, bukan berarti kita bisa berleha-leha. Karena, ‘landscape’ bursa tiket ini kadang mirip betul dengan penantian jawaban ‘Ya’ dari calon pacar tersayang, alias sulit diprediksi, dan tak jarang bikin deg-degan. Kadang tiket masih tersedia, bahkan sampai hari H, tetapi tak jarang pula tiket telah habis terjual pada hari di mana loket penjualan online/offline dibuka.
Sebenarnya, tujuan pemesanan tiket reguler dari jauh-jauh hari ini lebih kepada kebebasan memilih harga sebuah tiket—yang pada umumnya sangat bervariasi. Entah ditinjau berdasarkan waktu keberangkatan (jam, tanggal, bulan, dan tahun), atau berdasarkan operator transportasinya.
Note:
Pemesanan tiket jauh-jauh hari hanya akan berpengaruh pada moda transportasi seperti; pesawat, kapal ferry, dan kereta saja. Untuk moda transportasi seperti bus dan kerabat-kerabat dekatnya, bisa dibilang hampir tidak ada pengaruhnya. Kenapa?
Karena pada umumnya, pembelian tiket moda transportasi jenis ini hanya akan dibuka menjelang hari H keberangkatan atau bisa kita lakukan dengan sistem go show (saat itu berangkat, saat itu bayar/beli tiket). Jadi, mau tidak mau, harga tiketnya cenderung akan menyesuaikan dengan keadaan saat itu.
Sewa kendaraan atau naik-turun angkutan umum?
Pada beberapa kondisi, menyewa kendaraan akan relatif lebih murah ketimbang menggunakan jasa transportasi umum, tetapi pada kondisi lain keadaannya bisa juga terbalik, di mana naik-turun angkutan umum akan jauh lebih ekonomis ketimbang menyewa kendaraan.
Bila kalian dihadapkan pada pilihan antara menyewa kendaraan atau tidak, maka beberapa hal berikut bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan:
- Waktu. Terbatas? Atau tidak terbatas?
- Tenaga dan pikiran. Seberapa besar effort yang dibutuhkan untuk sampai ke suatu tujuan? Seperti misalnya; tingkat kesulitan mencari kendaraan sewaan, berapa besar keril yang dibawa berikut printilan-printilannya, berapa kali harus naik-turun angkutan umum, berapa lama waktu tunggu antara angkutan umum yang satu dengan angkutan umum berikutnya, berapa banyak ketersediaan angkutan umum tersebut, apakah tersedia sepanjang 24 jam, bisa duduk atau malah berdiri, berapa jauh jarak tempuhnya, dan lain sebagainya.
- Biaya. Berapa besar perbandingan biaya yang harus dikeluarkan antara menyewa kendaraan dengan naik-turun angkutan umum? Bila ongkos/biayanya hampir sama, maka menyewa kendaraan bisa dikatakan lebih murah, karena nilai efektifitasnya yang lebih tinggi.
- Jumlah anggota tim. Jumlah anggota dalam sebuah kelompok hanya akan mempengaruhi mahal-murahnya sewa kendaraan, tetapi tidak untuk ongkos angkutan umum.
***
Suka atau tidak, mahal dan murah adalah 2 hal yang sifatnya relatif.
Sesuatu akan menjadi mahal manakala kita sedang tidak
membutuhkannya—semurah apapun harganya. Sebaliknya, ia akan menjadi
murah manakala kita sedang membutuhkannya—semahal apapun harganya.
Dengan kata lain, mahal-murahnya sesuatu akan sangat tergantung pada
tujuan akhir yang hendak kita capai.Pertanyaannya sekarang; dengan 2 pilihan model transportasi tersebut, apa objektif /tujuan yang hendak kalian capai, terkait 4 bahan pertimbangan di atas?
Rajin-rajin membangun komunikasi
Dalam keseharian kita, membangun komunikasi sering disebut dengan silaturahim atau sosialisasi. Saat ini, kegiatan bersosialisasi menjadi semakin mudah dengan adanya perkembangan teknologi—sosial media. Dengan kata lain, untuk membangun sebuah komunikasi, kini tidak lagi terbatas pada bertemu secara nyata saja, namun secara maya pun bisa. Lingkup sosialisasinya pun menjadi amat luas, bahkan hingga antar-benua.
Kadang saya berpikir begini: jangan-jangan seiring perkembangan jaman, di masa depan nanti yang entah kapan, manusia bisa saling berkomunikasi melalui teknologi yang namanya sosial telepati. Yang dengannya, manusia kemudian berevolusi. Mulut menjadi mengecil atau tidak ada, karena dianggap sudah tak berguna.
Jadi, kalau jaman sekarang bagian tubuh yang membesar adalah ujung jari-jari tangan (kapalan gara-gara kebanyakan mengetik pesan), maka di masa depan nanti giliran bagian kepala yang membesar (karena sering digunakan untuk telepati). Sementara, ukuran tubuh kian mengecil dan menjadi cungkring, karena terlalu lama berdiam di suatu tempat tanpa sesuatu gerak.
Dari contoh ini saja, saya menjadi curiga, jangan-jangan secara rahasia perkembangan teknologi memang dirancang untuk mengubah manusia menjadi seperti alien-alien itu. Mulai dari postur tubuh, sampai dengan perilakunya.
Ahh! Kenapa jadi ngawur begini materi saya… @,@
Kembali ke topik semula…
Tujuan membangun komunikasi adalah untuk membiasakan orang lain dengan ‘kehadiran’ diri kita. Ibarat ‘branding,’ dalam dunia marketing. Harapannya, bila seseorang telah menjadi terbiasa dengan kita, mereka akan lebih membuka diri untuk menerima ide-ide kita, atau lebih tepatnya (dalam kasus ini); permintaan kita.
‘Permintaan’ yang bagaimana? Tentu permintaan yang berkaitan dengan rencana perjalanan yang akan atau telah kita susun, seperti misalnya; permintaan informasi tentang sebuah lokasi wisata, contact person yang bisa dihubungi, tips dan trik, bahkan permintaan untuk dipandu/ditemani ke tempat-tempat wisata di wilayah yang menjadi domisili mereka—bila memungkinkan.
Dengan membangun komunikasi yang baik, pada beberapa kasus, saya malah mendapatkan segala ‘fasilitas’ pertemanan ini secara gratis.
Logika dasarnya; seiring dengan menguatnya hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya, rasa empati pun ikut bertumbuh. Maka tak salah kiranya bila ada ungkapan, “Sosialisasi itu memperpanjang umur dan meluaskan rejeki.”
Hindari pengeluaran yang tidak perlu
Pengeluaran yang tidak perlu adalah semua pengeluaran atau biaya yang timbul di luar budget yang telah ditetapkan (atau diperkirakan) sebelumnya—yang cenderung tidak membawa manfaat saat aktifitas traveling berlangsung. Contoh yang paling mudah adalah membeli oleh-oleh/buah tangan. Jenis pengeluaran seperti ini ada baiknya kalian hindari.
Memang. Dalam budaya ketimuran. Memberikan bingkisan tangan kepada sanak kerabat termasuk dalam adat kesopanan. Namun demikian, sekedar saran saja: bila kalian termasuk orang yang tidak enakan bila harus pulang dengan tangan kosong, ada baiknya budget untuk membeli oleh-oleh/buah tangan ini dipisahkan dari budget khusus perjalanan. Tujuannya, selain memudahkan kontrol hawa nafsu setan (belanja), juga dapat menyelamatkan diri kalian dari neraka jahanam jurang kebangkrutan—akibat over budget.
“Social Engineering”
Menurut situs Wikipedia, Social Engineering termasuk dalam konteks keamanan informasi, dan merujuk pada manipulasi psikologis manusia (seseorang) agar melakukan sesuatu atau membocorkan informasi yang sifatnya rahasia.
Bila merujuk pada deskripsi Social Engineering di atas, sebenarnya penggunaan istilah Teknologi Informasi tersebut di bagian ini, kurang tepat. Namun, karena terdengar keren, bolehlah saya pinjam sebentar istilahnya untuk menggantikan subjudul yang seharusnya berlabel “Pendekatan persuasif.” Yah, mumpung biaya ‘pinjam’-nya masih gratis. Toh, saya juga yang nulis. :p
Dalam dunia traveling, konsep social engineering ini bisa diterapkan mulai dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari berangkat, sampai pulang kembali. Pokoknya, bisa diterapkan di segala medan. Syaratnya pun gampang. Yang penting tebal muka dan punya rasa tega level dewa.
Aplikasinya bisa diterapkan untuk beberapa keadaan, seperti;
- Tawar-menawar harga.
- Mengetahui harga resmi suatu barang/jasa yang akan kita beli/gunakan—apakah sudah di-mark-up, atau belum.
- Mendapatkan transportasi atau penginapan murah, kalau perlu gratis.
Contoh kasusnya; kami—yang berjumlah 10 orang—pernah mendapatkan penginapan gratis saat backpacker-an ke Belitung beberapa tahun lalu.
Contoh yang lain; saat hendak menyewa
penginapan di daerah Cemoro Lawang, Bromo. Harga tinggi yang semula
ditawarkan pengelola penginapan (450,000Rp), berhasil kami patahkan
dengan pernyataan, “Lah! Baru seminggu kemaren temen saya nginep
di sini 250,000Rp, Pak. Masak harganya cepet banget naiknya? Penginapan
ini pun taunya dari temen saya itu, yang katanya murah.” Sebagai hasil
akhirnya; si bapak pun mengalah juga, dan menyetujui harga yang kami
tawarkan (secara ‘paksa’) tersebut. Padahal, “temen saya” yang mana,
saya juga tidak tahu.
- Mendapatkan kesempatan (eksklusif) mengunjungi tempat-tempat yang jarang diketahui orang, kecuali oleh warga sekitar.
- Dan lain sebagainya.
Ah! Sudahlah. Saya tidak boleh berprasangka buruk kepada diri sendiri.
***
Kalau mau diteruskan, sebenarnya masih banyak daftar yang bisa saya
berikan untuk menghemat biaya perjalanan wisata kalian, tetapi setelah
melihat jumlah halaman yang tiba-tiba menjadi begitu panjang, terpaksa
saya berpikir ulang. Khawatir juga. Jangan-jangan, kalau saya teruskan,
bukannya mendapatkan pemahaman dari artikel ini, eh, kalian malah
pingsan. Jadi, kiranya sekian dulu dari saya. Cari sendiri manfaatnya.
Semoga tidak ada. Merdeka! [BEM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar